18 Juni 2025

TAK HORMATI KEBEBASAN PERS, PT RPI TERANCAM DILAPORKAN KARENA HALANGI TUGAS WARTAWAN



PERS KPK Tipikor Karawang | Insiden pengusiran terhadap wartawan dan Sekretaris Desa (Sekdes) Rengasdengklok Selatan terjadi di area operasional PT Rahayu Primadona Indonesia (RPI), Dusun Rengas Jaya 2, Desa Rengasdengklok Selatan, Kabupaten Karawang, pada Selasa (17/6). Tindakan perwakilan perusahaan yang arogan, bahkan menyebut Pasal 167 KUHP untuk mengusir Sekdes dan jurnalis, menuai kecaman dari kalangan jurnalis dan pemerhati hukum.

Peristiwa bermula ketika perangkat Desa Rengasdengklok Selatan mengunjungi lokasi perusahaan untuk melihat legalitas operasional PT RPI. Sekdes menyampaikan bahwa kunjungan tersebut merupakan bagian dari tugas pemerintah desa untuk memastikan aktivitas usaha tidak menyalahi aturan.

Namun jawaban dari perwakilan perusahaan hanya singkat, menyatakan bahwa izin usaha masih “dalam proses”. Hal itu langsung ditanggapi dengan tegas oleh Sekdes.

"Kok bisa aktivitas kerja sudah berjalan, padahal izin belum dilakukan? Ini jelas menyalahi aturan. Harusnya sebelum bangunan berdiri dan kegiatan dimulai, surat izin harus lengkap. Ada satpam dulu, ada karyawan, artinya sudah operasi," kata Sekdes kepada pihak perusahaan.

Sikap menghina perusahaan justru berakhir pada pengusiran. Saat wartawan mencoba melakukan wawancara lanjutan dengan Sekdes, pihak perusahaan kembali datang dan melarang peliputan dengan dalih lokasi adalah area privat.

“Ini wilayah bapak privat, bisa kena Pasal 167. Bapak orang media, tahukan?” pidato salah satu perwakilan perusahaan dengan nada tinggi.

Ketua Ikatan Wartawan Online Indonesia (IWOI) Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Kabupaten Karawang, Syuhada Wisastra, mengecam keras tindakan tersebut dan menyatakan tidak akan tinggal diam.

“Pengusiran pers dan pernyataan intimidatif yang menyebut Pasal 167 KUHP adalah bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers. Ini tidak bisa ditoleransi. Wartawan bekerja untuk kepentingan publik, dan dilindungi oleh undang-undang,” tegas Syuhada, Rabu (18/6/2025).

Syuhada juga memberikan pernyataan tegas sebagai bentuk sikap organisasi:

“Saya tegaskan, IWO Indonesia tidak akan tinggal diam. Bila ada pihak mana pun yang mencoba menghalangi kerja jurnalistik, kami siap menempuh jalur hukum. Tidak boleh ada satu pun jurnalis yang diintimidasi, diusir, atau diancam saat menjalankan tugas. Itu menembus pidana dan mencoreng demokrasi,” tegasnya.

“Kami memberikan waktu kepada PT RPI untuk menyampaikan permintaan maaf dan klarifikasi secara terbuka. Jika tidak ada itikad baik dalam waktu dekat, kami siap melakukan aksi terbuka di lokasi perusahaan dan melaporkan kasus ini ke pihak berwajib. Ini bentuk perlawanan terhadap segala bentuk pembungkaman pers,” tegas Syuhada lebih lanjut.

Ia menekankan bahwa tindakan tersebut menghalangi tugas jurnalistik pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang berbunyi:

“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kerja jurnalistik dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak lima ratus juta rupiah.”

Sementara itu, Satpol PP Kabupaten Karawang mengakui telah menerima laporan masyarakat terkait aktivitas PT RPI. Bahkan perusahaan tersebut sebelumnya telah diminta menghentikan kegiatan dan mengurus perizinan secara sah. Penanggung jawab perusahaan pun disebut telah menandatangani surat pernyataan.

Namun fakta di lapangan menunjukkan perusahaan tetap beroperasi dan tidak kooperatif saat dikunjungi oleh pihak desa dan wartawan.

Masyarakat dan tokoh setempat meminta Pemerintah Kabupaten Karawang mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan yang beroperasi tanpa izin resmi, demi menjaga wilayah dan kenyamanan warga. Di sisi lain, komunitas jurnalis menilai kejadian ini menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Karawang.

“Pasal 167 KUHP tentang memasuki pekarangan orang lain tanpa izin tidak serta-merta dapat digunakan untuk mengkriminalisasi pers. Pers memiliki hak konstitusional untuk mencari dan menyampaikan informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik,” tegas Syuhada.

Hingga berita ini diterbitkan, pihak PT RPI belum memberikan klarifikasi atau permintaan maaf resmi. Redaksi masih terus berupaya menghubungi manajemen perusahaan untuk mendapatkan keterangan tambahan.

Insiden ini menjadi pengingat pentingnya edukasi hukum bagi semua pihak, terutama perusahaan, agar tidak semena-mena terhadap tugas jurnalistik. Jika wartawan tidak dilindungi, maka publik kehilangan hak atas informasi yang objektif dan transparan.

(Sadewa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar